
Cuitan tersebut mendapat ratusan tanggapan dari warganet yang menyuarakan keprihatinan serupa tentang masih kuatnya bias gender dalam menanggapi kritik politik, khususnya ketika yang bersuara adalah perempuan.

Sementara itu di sudut kota Purwakarta lainnya, Monna, seorang wartawan perempuan, mengamati fenomena ini dengan keprihatinan mendalam. Dengan segelas kopi di hadapannya, ia menyampaikan pandangannya terkait komentar seksis terhadap Shela.
“Ini adalah bentuk nyata dari ketakutan terhadap perempuan yang memiliki suara,” ujarnya dengan nada tegas.
“Ketika perempuan berdiri dan berbicara lantang, terutama di ruang yang didominasi laki-laki, ada upaya sistematis untuk merendahkan dan mengalihkan perhatian dari substansi yang mereka sampaikan. Komentar ‘suruh nikah aja’ adalah cara untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik, seolah ruang publik bukanlah tempat mereka,” lanjutnya saat ditemui di sekretariat KP3.
Monna mengetuk-ngetukkan jarinya di meja sambil menjelaskan bahwa kehadiran perempuan dalam demonstrasi maupun politik selalu menghadapi tantangan berlapis. Bukan hanya harus menghadapi reaksi dari pihak yang dikritik, mereka juga dipaksa berjuang melawan stigma sosial yang mengikat.
“Gerakan kesetaraan gender telah membuka lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik dan kebebasan berpendapat. Namun, komentar seperti ‘suruh nikah aja’ menunjukkan bahwa perjuangan masih panjang,” katanya dengan tatapan yang menerawang jauh.
Perempuan dan Demokrasi
Di ruang kerjanya yang dipenuhi tumpukan suara kritis dan minor dari masyarakat Purwakarta, Agus M Yasin, seorang pengamat sosial dan politik, menjelaskan fenomena ini dengan detail. Kacamatanya sesekali ia betulkan sambil menunjukkan pola serangan berbasis gender yang kerap muncul di ruang-ruang diskusi publik.
“Alih-alih menanggapi kritik dengan argumen yang relevan, sebagian masyarakat justru memilih menyerang identitas dan status sosial perempuan, seakan-akan peran mereka tidak lebih dari sekadar menjalankan kehidupan domestik,” jelasnya.
Menurutnya, komentar “suruh nikah aja” bukan sekadar ucapan spontan, melainkan strategi sistematis untuk mendelegitimasi suara perempuan dan mengembalikan mereka ke peran-peran tradisional yang terbatas.
“Ketika perempuan mulai mengambil ruang dan bersuara, ada upaya untuk menekan mereka kembali ke peran tradisional. Ini adalah cara untuk mengalihkan pembicaraan dari isu sebenarnya dan meremehkan perempuan,” terangnya dengan nada prihatin.
Agus Yasin menekankan bahwa dalam sebuah diskusi publik, baik itu di dunia nyata atau di dunia maya, fokus seharusnya pada substansi kritik, bukan pada siapa yang menyampaikannya.
“Ketika kita mulai menyerang pribadi, terutama berbasis gender, itu menunjukkan kelemahan dalam berargumen,” ujarnya tegas.
Dengan mata yang berbinar penuh semangat, ia menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk bersuara dalam demokrasi.
“Perempuan juga memiliki hak untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam politik. Komentar seksis semacam itu tidak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga merusak demokrasi,” pungkasnya dengan keyakinan penuh.
Regulasi dan Harapan Perubahan
Di Kota Bandung, dalam ruang Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, Zaini Shofari duduk dengan tenang mendengarkan laporan dari jurnalis Jabarnews.com tentang kasus komentar seksis yang dialami Shela. Sebagai anggota dewan yang peduli dengan isu kesetaraan gender, ia mengutarakan pandangannya.
“Kita sejak lama mengenal dunia patriarki. Sering kali peran laki-laki dan perempuan dibedakan hanya berdasarkan konstruksi sosial. Padahal, di ruang-ruang publik tidak ada lagi perbedaan mendasar antara keduanya,” kata Zaini sambil menunjukkan beberapa regulasi yang telah dibuat untuk mendukung kesetaraan gender.
Dengan lugas, ia menjelaskan bahwa berbagai regulasi telah membuka peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi lebih luas di sektor publik, termasuk kebijakan kuota 30 persen bagi perempuan dalam pemilu. Ia juga menyebutkan bagaimana institusi seperti Komnas HAM dan KPAI telah menempatkan perempuan di posisi-posisi strategis.
Zaini kemudian membuka berkas Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No. 2 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Dengan telunjuk mengarah pada pasal-pasal terkait, ia menegaskan pentingnya edukasi masyarakat untuk menghilangkan stereotip terhadap perempuan.
“Kita harus terus memberikan edukasi agar perempuan tidak lagi dipandang sebagai objek komersial. Budaya patriarki masih tertanam di masyarakat, dan ini perlu diubah melalui pendekatan yang lebih moderat dan seimbang,” tegasnya dengan penuh harapan.
Dalam hal perlindungan perempuan dan anak di daerah, Zaini juga menyoroti belum adanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jawa Barat. Menurutnya, keberadaan lembaga ini penting untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan, termasuk perundungan dan eksploitasi seksual.