Kita sepakat, COVID-19 yang sempat membawa ekonomi Indonesia ke jurang resesi adalah problematika luar biasa. Dan karena sifatnya yang luar biasa, maka butuh penanganan yang juga luar biasa (extra-ordinary).
Dari bingkai (frame) tersebut, maka istilah “focus” dan “re-focusing” pada akhirnya seperti punya daya ‘magis’ tersendiri. Bahwa langkah-langkah luar biasa Pemerintah dengan standar moral dan intelektual bernama “focus” dan “re-focusing” menjadi benar sekaligus masuk akal.
Lantas, apa sesungguhnya “focus” dan “re-focusing” anggaran itu pada konteks riil di Kabupaten Purwakarta? Saya pribadi—jujur saja—penasaran.
Keterbatasan informasi membuat saya harus menganalisa dari perspektif makro. Objek kajiannya adalah perbandingan realisasi APBD Purwakarta 2019 (asumsi sebelum COVID) dan 2020 (setelah COVID).
Bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS), bisa ditelisik bersama bahwa tidak perubahan signifikan pada postur APBD di kedua tahun tersebut. Bobot anggaran masih condong kepada birokrasi (sebut saja Belanja Pegawai & Belanja Barang dan Jasa). Sementara, belanja modal tetap konstan (di kisaran 15-18%). Bantuan sosial dan hibah tidak besar juga (di kisaran 1-3%). Dan terakhir ada bantuan keuangan yang ditujukan untuk transfer ke desa.
Sekilas saja, tampak kontras bahwa tidak ada perubahan. Lantas, pada konteks apa “focus” dan “re-focusing” anggaran yang dimaksud itu?
Nah, APBD-P 2021 tidak lepas dari ‘tantangan’ tersebut. Pertanyaannya, apa kali ini kedua istilah tersebut masih tetap digunakan sebagai dasar alokasi anggaran?.