Riset di sejumlah negara sejak awal 1990’an menunjukkan BPA dapat bermigrasi pada air dalam kemasan plastik dan, pada level tertentu, dapat memicu risiko kesehatan yang serius. Lantaran itu lah, banyak negara sejak jauh-jauh hari telah mengadopsi batas migrasi BPA yang dianggap aman.
Di Indonesia, BPOM mematok batas migrasi maksimal BPA 0,6 bagian per juta (mg/kg) pada semua air minum kemasan bermerek. Pengecekan rutin BPOM atas kepatuhan industri pada pemenuhan batas migrasi itu menunjukkan paparan BPA pada semua merek air kemasan di dalam negeri masih dalam batas aman.
Kendati, riset mutakhir oleh sejumlah peneliti pasca 2019 menunjukkan BPA tetap membawa risiko tersendiri pada kesehatan manusia meski level paparannya di bawah ambang batas berbahaya yang telah diadopsi banyak negara.
Perkembangan itulah yang antara lain mendorong BPOM menggulirkan rancangan kebijakan penyelarasan pelabelan air minum kemasan agar bisa sejalan dengan standar kebijakan pelabelan di berbagai negara.
Namun menurut Rakhmat, rancangan kebijakan itu justru bisa memperkeruh iklim bisnis lantaran konsumen seolah-olah digiring untuk menghindari galon isi ulang yang dicitrakan tidak sehat.
Padahal, katanya, bila pengusaha beralih ke galon yang bebas BPA, selain membutuhkan investasi besar, bakal muncul masalah lingkungan yang baru dari penggunaan galon baru.