
PurwakartaUpdate – Sore itu, suara seorang perempuan bergema di dalam ruang rapat paripurna DPRD Kabupaten Purwakarta. Dengan penuh keyakinan, Shela Amelia, mahasiswi berusia 22 tahun ini berdiri tegak menyuarakan aspirasinya di tengah kerumunan aksi “Indonesia Gelap” pada Jumat (21/2) lalu.
Semua mata tertuju padanya. Udara dalam ruangan terasa berat ketika Shela menarik nafas dalam-dalam. Dengan tatapan tajam dan suara lantang, ia menatap langsung ke arah dua orang pimpinan dewan yang duduk di hadapannya.
“Cabut Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2025 terkait efisiensi anggaran yang tidak berpihak pada rakyat. Kembalikan anggaran pendidikan pagu awal, naikkan anggaran pendidikan terutama dana operasional PTN-BH, PTS, dan beasiswa,” serunya dengan tegas.
Suaranya makin bertenaga ketika melanjutkan, “Perluas akses pendidikan tinggi kepada anak kelas buruh dan kaum tani yang selama ini dihalangi oleh biaya pendidikan yang tinggi, realisasikan anggaran tukin dosen”.
“Evaluasi total program Makan Bergizi Gratis. Efisiensi dan rombak kabinet Merah Putih. Hapuskan multi fungsi ABRI! Keterlibatan militer dalam sektor sipil berpotensi menciptakan represi dan menghambat kehidupan yang demokratis. Mendesak Presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintahan pengganti UU perampasan aset,” suaranya lantang memantul di dinding-dinding ruangan, membawa kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah yang dinilainya abai pada kepentingan rakyat.
Dua orang pimpinan wakil rakyat di Purwakarta itu tampak memperhatikan dengan seksama, sementara para peserta aksi lainnya mengangguk tanda setuju. Kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilainya tidak pro-rakyat telah menancap tajam.
Namun, siapa yang menyangka bahwa komentar seksis akan menjadi bayaran atas keberaniannya menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Ketika video dan foto Shela menyebar di media sosial, komentar yang muncul tidak hanya tentang substansi kritiknya. Seorang netizen dengan akun (@Ju*******) menuliskan komentar pedas, “Yang cewek tuh suruh nikah ajah“.
Sebuah kalimat sederhana namun menggambarkan betapa dalam akar patriarki masih tertanam dalam pandangan masyarakat tentang peran perempuan di ruang publik.
“Seolah-olah karena saya perempuan, saya tidak boleh bersuara. Itu menyakitkan. Bahkan saya sempat takut bertemu orang,” ungkap Shela dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di Purwakarta, Rabu (26/2/2025).
Koordinator Aliansi BEM Purwakarta ini mengaku terguncang. Bukan demonstrasi yang membuatnya gentar, melainkan serangan komentar yang merendahkan identitasnya sebagai perempuan. Shela tidak pernah membayangkan bahwa keberaniannya akan dibalas dengan diskriminasi berbasis gender.
“Ketika orang-orang bertanya apalagi yang perlu diperjuangkan dalam kesetaraan gender, ini jawabannya. Beban ganda yang tak terlihat, pendiktean tentang bagaimana saya harus menjadi pemimpin, bahkan gestur tubuh saya pun dikomentari,” tutur Shela sambil menghela nafas panjang.
Di balik tatapan tegas dan suaranya yang lantang saat berdemonstrasi, Shela ternyata menyimpan keresahan. Stereotip yang melekat pada perempuan terus berusaha membatasi langkahnya. Namun, tekadnya untuk terus bersuara tidak goyah.
“Ini bukti nyata bahwa dunia masih terkurung dalam patriarki dan ketidakadilan masih berjaya. Jika saya menyerah dan kalah, bagaimana dengan kawan-kawan perempuan lainnya yang ingin bersuara lantang?” ujarnya dengan nada yang semakin berapi-api.
Mata Shela menerawang jauh ketika berbicara tentang harapannya. Ia ingin keberaniannya menginspirasi perempuan lain untuk tidak takut memperjuangkan keadilan gender, meski harus menghadapi cercaan dan komentar seksis.
Stigma yang harus dihadapi Shela tidak berhenti pada identitas gendernya. Sebagai mahasiswi calon guru di salah satu kampus pendidikan di Purwakarta, ia juga mendapat serangan berlapis.
“Ada yang bilang, ‘Katanya calon guru, kok calon guru kayak gini sih?‘” Shela menirukan komentar pedas yang diterimanya di media sosial.
Dengan tatapan penuh keyakinan, ia membandingkan pengalamannya dengan kasus pemecatan seorang guru yang juga vokalis band Sukatani karena dianggap “tidak pantas” dalam berpenampilan. Shela melihat adanya pola yang sama, pembungkaman suara kritis dengan menggunakan standar sempit tentang bagaimana seorang guru seharusnya bersikap.
“Kalau guru harus selalu mengikuti standar sempit yang ditentukan masyarakat, lalu bagaimana dengan kami, calon guru di masa depan, yang ingin mendapatkan keadilan?” tanyanya dengan nada frustasi.
Duduk sambil sesekali merapikan jilbabnya, Shela mempertanyakan apakah untuk mengkritik kebijakan pemerintah, seseorang harus menyesuaikan diri dengan aturan tak tertulis hanya karena profesi yang diemban.
“Kita punya warna dan cara masing-masing dalam menyampaikan kritik, tapi kenapa kami dibatasi hanya karena kami guru atau calon guru?” pungkasnya dengan nada tegas.
Gelombang Solidaritas Melawan Komentar Seksis
Kisah Shela bukanlah kisah yang berdiri sendiri. Komentar seksis yang ia terima memicu gelombang solidaritas dari netizen yang peduli terhadap kesetaraan gender. Seorang pengguna X (Twitter) dengan akun @tok****** menuliskan dukungannya:
“Tiap ada kritik politik, terutama yang melibatkan perempuan, pasti ada saja yang nyerempet ke ‘suruh nikah aja’, seolah itu satu-satunya takdir perempuan. Ini bukan cuma seksisme, tapi sistematis buat meremehkan suara perempuan & mengalihkan isu dari substansi ke omong kosong patriarki.“